Kamis, 27 Maret 2014

Hukum Mencium Mushaf (Al Qur’an)


Asy Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani

Beliau berkata: Perkara ini -menurut keyakinan kami- adalah masuk ke dalam keumuman hadits "Jauhilah oleh kalian perkara-perkara baru karena setiap perkara baru adalah bid’ah dan setiap kebid’ahan adalah sesat", dalam hadits lain "Setiap kesesatan dalam Neraka".

Banyak kalangan punya pendirian tertentu dalam menyikapi hal ini, mereka mengatakan, "Ada apa dengan mencium mushaf? Bukankah ini hanya untuk menampakkan sikap membesarkan dan mengagungkan Al Qur’an?"

Kita katakan kepada mereka, "Kalian benar, tak ada apa-apa melainkan hanya pengagungan terhadap Al Qur’anul Karim, tetapi perhatikanlah, apakah sikap pengagungan ini luput atas generasi umat yang pertama, yang mereka tiada lain adalah para sahabat Rosulullah demikian pula para tabi’in dan para tabi’ut tabi’in setelahnya?" Tidak ragu lagi jawabannya adalah seperti jawaban Ulama Salaf, " Jika perkara itu baik, tentu mereka akan mendahului kita padanya".

Ini satu masalah, masalah yang lainnya adalah apa hukum asal mencium sesuatu, bolehkah atau terlarang?

Di sini perlu kami paparkan suatu hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari sahabat Abbas bin Rabi’ah, ia berkata, "Aku melihat Umar bin Khoththob mencium hajar aswad dan berkata, "Sesungguhnya aku tahu engkau adalah batu, tidak dapat memberi mudharat tidak pula memberi manfa’at, sekiranya bukan karena Aku telah melihat Rasulullah menciummu Aku tak akan menciummu"".

Kalau demikian, kenapa Umar mencium hajar aswad? Apakah karena filsafat yang muncul darinya?

Jadi asal hukum mencium ini hendaknya berjalan di atas sunnah yang dulu. Ingatlah sikap Zaid bin Tsabit beliau telah berkata, "Bagaimana kalian melakukan sesuatu yang tidak dilakukan Rasulullah?".

Jika ditanyakan kepada yang mencium mushaf, "Bagaimana kalian melakukan sesuatu yang tidak dilakukan Rasulullah?", ia akan mengarahkan jawaban yang aneh sekali, seperti "Hai saudaraku ada apa dengan ini? Ini mengagungkan Al Qur`an!", maka katakan padanya, "Hai saudaraku, apakah Rasulullah tidak mengagungkan Al Qur`an? Tidak ragu lagi bahwa beliau mengagungkan Al Qur`an, walau demikian beliau tidak menciumnya".

Saya katakan, "Tidak ada jalan untuk mendekatkan diri kepada Allah kecuali dengan apa yang telah disyari’atkanNya, oleh karena itu kita bertindak sesuai dengan apa yang disyari’atkan untuk kita dari keta’atan dan ibadah-ibadah, tidak menambahinya walau satu kata, karena hal ini seperti ucapan Nabi, "Tidak aku tinggalkan sesuatupun yang Allah telah perintahkan kalian, kecuali aku telah perintahkan kalian dengannya"".

Oleh karena itu maka mencium mushaf (Al Qur’an) adalah bid’ah, dan setiap kebid’ahan adalah sesat, setiap kesesatan tempatnya di neraka.

Dinukil dari "Kaifa Yajibu ‘Alaina An-Nufassirol Qur’an"
Sumber: Buletin Al Wala’ Wal Bara’ Bandung
Edisi ke-5 Tahun ke-1 / 10 Januari 2003 M / 06 Dzul Qo’dah 1423 H

14/11/2007 @ 5:30 am| Kategori: Fatwa Ulama, Mengenal Bid'ah

Minggu, 16 Maret 2014

JASAD PARA NABI TETAP UTUH DI ALAM KUBUR.




Penulis : Luthfi Bashori

Umat Islam Ahlus sunnah wal jamah meyakini dalam aqidahnya, bahwa jasad para Nabi itu tidak akan hancur ditelan jaman, sekalipun usia mereka sudah ribuan tahun dimakamkan di dalam tanah, karena Allah menghendaki keawetan itu. Hal ini sebagaimana telah dituturkan oleh Nabi SAW dalam sabdanya :

Sesungguhnya hari Jumat adalah hari-hari kalian yang paling baik. Pada hari itu, Adam diciptakan dan diwafatkan, hari ditiupnya sangkakala pewafatan manusia (menjelang Qiyamat), dan dibangkitkannya. Maka perbanyaklah shalawat kepadaku pada hari itu (Jumat), karena shalawat kalian diperlihatkan kepadaku.

Para shahabat bertanya : Bagaimana shalawat kami dapat diperlihatkan kepada engkau, sedangkan engkau telah wafat (jasad engkau telah rusak) ?

Nabi SAW menjawab : Sesungguhnya Allah mengharamkan bumi untuk memakan tubuh para Nabi.

Hadits ini dikeluarkan oleh Said bin Manshur, Ibnu Abi Syaibah dan Ahmad dalam Musnadnya, Ibnu Abu Ashim dalam bab tentang Ash-Shalah ( membaca Shalawat ), Abu Daud, An-Nasa`i dan Ibnu Majah dalam kitab As-Sunnah, Ath-Thabari dalam Mu`jamnya, Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban dan Al Hakim dalam kitab Shahih mereka dan Al-Baihaqi dalam kitab Hayatul Ambiya` dan Syu`abul Iman.

Perlu diketahui bahwa hadits, "Innallaha Harrama `Alal Ardhi........" Bersumber dari sanad yang banyak. Al Hafidz Al Mundziri telah menghimpun bab tersendiri dan dia berkata dalam kitab At-Targhib wa At-Tarhib, bahwa hadits tersebut diriwayatkan Ibnu Majah dengan sanad Jayyid ( baik ), diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Dawud, Ibnu Hibban dalam shahihnya dan Al Hakim menshahihkannya. Ibnu Qayyim berkata dalam kitab Ar-Ruh mengutip pendapat dari Abu Abdullah Al-Qurthubi, "Benar hadits tersebut (berasal) dari Nabi SAW yang mengatakan, bahwa bumi tidak memakan tubuh para nabi dan Nabi SAW pernah berkumpul bersama mereka pada malam Isra` di baitul Maqdis dan di langit, khususnya dengan nabi Musa.

Nabi telah menegaskan, "Tidaklah seorang muslim memberi salam kepada mayat kecuali Allah pasti mengembalikan ruh kepadanya sehingga (mayat) itu menjawab salamnya. "Hadits-hadits yang lain memberikan kepastian makna bahwa wafatnya para nabi tidak lain adalah tidak terlihatnya mereka dari pandangan mata kita sekalipun mereka ada dan masih hidup. Sebagaimana halnya para malaikat, mereka itu ada dan masih hidup tetapi kita tidak melihat mereka.

Perkataan Imam Al-Qurthubi yang telah dikutip tersebut diakui juga oleh Syekh Muhammad As-Syafaraini Al-Hambali dalam kitab Syarah Aqidah Ahlus Sunnah yang teks riwayatnya adalah sebagai berikut, Abu Abdullah Al-Qurthubi berkata, guru kami Ahmad bin Umar Al-Qurthubi penulis kitab Al Mufhim fi Syarhi Muslim berkata, " Sesuatu yang bisa menghilangkan kesulitan adalah kematian, dan kematian itu bukanlah ketiadaan an-sich, melainkan kematian itu merupakan perpindahan dari suatu kondisi (alam) ke kondisi (alam) yang lain. Buktinya para syuhada` setelah kematiannya, mereka masih hidup, berbahagia dan mendapatkan rezeki di sisi Tuhan mereka."

Inilah gambaran orang-orang yang hidup di dunia. Jika gambaran ini terjadi pada para syuhada, maka para nabi lebih berhak dan lebih utama memperoleh kehidupan itu. Al-Qurthubi menyebutkan bahwa tubuh-tubuh para nabi tidak binasa.

Diriwatkan secara shahih dari Jabir bahwa bapaknya dan Amr bin Al-Jamuh keduanya telah mati syahid dalam perang Uhud dan keduanya dimakamkan dalam satu liang lahat. Ketika musibah banjir menggerus makam tersebut, keduanya tidak tampak mengalami perubahan.

Salah satu di antara keduanya terluka, lalu tangannya diletakkan di atas luka tersebut kemudian dimakamkan dalam keadaan seperti itu. Kemudian tangannya dijauhkan dari lukanya, tiba-tiba tangan tersebut kembali sebagaimana semula. Padahal jarak antara banjir dengan perang Uhud adalah 46 tahun.

Tatkala Mu`awiyah membuat sumur di Madinah yang sumber airnya disedot -setelah 50 tahun dari perang Uhud- lalu para mayat dipindahkan, tiba-tiba alat ukurnya ( Meteran ) menyentuh kaki Hamzah r.a. sehingga mengalir darah di kakinya, sedangkan Abdullah bin Haram ditemukan seperti orang yang baru dimakamkan kemarin.

Seluruh penduduk Madinah meriwayatkan, bahwa dinding Nabi tatkala roboh pada masa Al Walid, kaki Umar bin Khaththab terlihat oleh mereka dan Umar pada waktu itu mati syahid. Ibnu taimiyah menyebutkan bahwa tatkala dinding tersebut roboh, kaki, betis dan lutut terlihat oleh mereka, sehingga Umar bin Abdul Aziz kaget atas kejadian tersebut lalu Urwah mendatanginya kemudian menjelaskan, "Ini betis dan lutut Umar, maka hilanglah kegelisahan Umar bin Abdul Aziz. (Iqtidha As-Shirath Al Mustaqim, hal : 365)

Dalam maslah ini Al Baihaqi telah menulis risala khusus yang menghimpun hadits-hadits yang menunjukkan, bahwa para nabi itu masih hidup dan tubuh mereka masih utuh. Demikian pula Al-Hafidz Jalaluddin As-Suyuthi menulis risalah yang sama.

(Dinulik dari buku Mafahim Yajibu An Tushahhah, karangan Guru Besar, Abuya Assayyid Muhammad bin Alwi Almaliki Alhasani). -