Kamis, 27 Maret 2014

Hukum Mencium Mushaf (Al Qur’an)


Asy Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani

Beliau berkata: Perkara ini -menurut keyakinan kami- adalah masuk ke dalam keumuman hadits "Jauhilah oleh kalian perkara-perkara baru karena setiap perkara baru adalah bid’ah dan setiap kebid’ahan adalah sesat", dalam hadits lain "Setiap kesesatan dalam Neraka".

Banyak kalangan punya pendirian tertentu dalam menyikapi hal ini, mereka mengatakan, "Ada apa dengan mencium mushaf? Bukankah ini hanya untuk menampakkan sikap membesarkan dan mengagungkan Al Qur’an?"

Kita katakan kepada mereka, "Kalian benar, tak ada apa-apa melainkan hanya pengagungan terhadap Al Qur’anul Karim, tetapi perhatikanlah, apakah sikap pengagungan ini luput atas generasi umat yang pertama, yang mereka tiada lain adalah para sahabat Rosulullah demikian pula para tabi’in dan para tabi’ut tabi’in setelahnya?" Tidak ragu lagi jawabannya adalah seperti jawaban Ulama Salaf, " Jika perkara itu baik, tentu mereka akan mendahului kita padanya".

Ini satu masalah, masalah yang lainnya adalah apa hukum asal mencium sesuatu, bolehkah atau terlarang?

Di sini perlu kami paparkan suatu hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari sahabat Abbas bin Rabi’ah, ia berkata, "Aku melihat Umar bin Khoththob mencium hajar aswad dan berkata, "Sesungguhnya aku tahu engkau adalah batu, tidak dapat memberi mudharat tidak pula memberi manfa’at, sekiranya bukan karena Aku telah melihat Rasulullah menciummu Aku tak akan menciummu"".

Kalau demikian, kenapa Umar mencium hajar aswad? Apakah karena filsafat yang muncul darinya?

Jadi asal hukum mencium ini hendaknya berjalan di atas sunnah yang dulu. Ingatlah sikap Zaid bin Tsabit beliau telah berkata, "Bagaimana kalian melakukan sesuatu yang tidak dilakukan Rasulullah?".

Jika ditanyakan kepada yang mencium mushaf, "Bagaimana kalian melakukan sesuatu yang tidak dilakukan Rasulullah?", ia akan mengarahkan jawaban yang aneh sekali, seperti "Hai saudaraku ada apa dengan ini? Ini mengagungkan Al Qur`an!", maka katakan padanya, "Hai saudaraku, apakah Rasulullah tidak mengagungkan Al Qur`an? Tidak ragu lagi bahwa beliau mengagungkan Al Qur`an, walau demikian beliau tidak menciumnya".

Saya katakan, "Tidak ada jalan untuk mendekatkan diri kepada Allah kecuali dengan apa yang telah disyari’atkanNya, oleh karena itu kita bertindak sesuai dengan apa yang disyari’atkan untuk kita dari keta’atan dan ibadah-ibadah, tidak menambahinya walau satu kata, karena hal ini seperti ucapan Nabi, "Tidak aku tinggalkan sesuatupun yang Allah telah perintahkan kalian, kecuali aku telah perintahkan kalian dengannya"".

Oleh karena itu maka mencium mushaf (Al Qur’an) adalah bid’ah, dan setiap kebid’ahan adalah sesat, setiap kesesatan tempatnya di neraka.

Dinukil dari "Kaifa Yajibu ‘Alaina An-Nufassirol Qur’an"
Sumber: Buletin Al Wala’ Wal Bara’ Bandung
Edisi ke-5 Tahun ke-1 / 10 Januari 2003 M / 06 Dzul Qo’dah 1423 H

14/11/2007 @ 5:30 am| Kategori: Fatwa Ulama, Mengenal Bid'ah

Minggu, 16 Maret 2014

JASAD PARA NABI TETAP UTUH DI ALAM KUBUR.




Penulis : Luthfi Bashori

Umat Islam Ahlus sunnah wal jamah meyakini dalam aqidahnya, bahwa jasad para Nabi itu tidak akan hancur ditelan jaman, sekalipun usia mereka sudah ribuan tahun dimakamkan di dalam tanah, karena Allah menghendaki keawetan itu. Hal ini sebagaimana telah dituturkan oleh Nabi SAW dalam sabdanya :

Sesungguhnya hari Jumat adalah hari-hari kalian yang paling baik. Pada hari itu, Adam diciptakan dan diwafatkan, hari ditiupnya sangkakala pewafatan manusia (menjelang Qiyamat), dan dibangkitkannya. Maka perbanyaklah shalawat kepadaku pada hari itu (Jumat), karena shalawat kalian diperlihatkan kepadaku.

Para shahabat bertanya : Bagaimana shalawat kami dapat diperlihatkan kepada engkau, sedangkan engkau telah wafat (jasad engkau telah rusak) ?

Nabi SAW menjawab : Sesungguhnya Allah mengharamkan bumi untuk memakan tubuh para Nabi.

Hadits ini dikeluarkan oleh Said bin Manshur, Ibnu Abi Syaibah dan Ahmad dalam Musnadnya, Ibnu Abu Ashim dalam bab tentang Ash-Shalah ( membaca Shalawat ), Abu Daud, An-Nasa`i dan Ibnu Majah dalam kitab As-Sunnah, Ath-Thabari dalam Mu`jamnya, Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban dan Al Hakim dalam kitab Shahih mereka dan Al-Baihaqi dalam kitab Hayatul Ambiya` dan Syu`abul Iman.

Perlu diketahui bahwa hadits, "Innallaha Harrama `Alal Ardhi........" Bersumber dari sanad yang banyak. Al Hafidz Al Mundziri telah menghimpun bab tersendiri dan dia berkata dalam kitab At-Targhib wa At-Tarhib, bahwa hadits tersebut diriwayatkan Ibnu Majah dengan sanad Jayyid ( baik ), diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Dawud, Ibnu Hibban dalam shahihnya dan Al Hakim menshahihkannya. Ibnu Qayyim berkata dalam kitab Ar-Ruh mengutip pendapat dari Abu Abdullah Al-Qurthubi, "Benar hadits tersebut (berasal) dari Nabi SAW yang mengatakan, bahwa bumi tidak memakan tubuh para nabi dan Nabi SAW pernah berkumpul bersama mereka pada malam Isra` di baitul Maqdis dan di langit, khususnya dengan nabi Musa.

Nabi telah menegaskan, "Tidaklah seorang muslim memberi salam kepada mayat kecuali Allah pasti mengembalikan ruh kepadanya sehingga (mayat) itu menjawab salamnya. "Hadits-hadits yang lain memberikan kepastian makna bahwa wafatnya para nabi tidak lain adalah tidak terlihatnya mereka dari pandangan mata kita sekalipun mereka ada dan masih hidup. Sebagaimana halnya para malaikat, mereka itu ada dan masih hidup tetapi kita tidak melihat mereka.

Perkataan Imam Al-Qurthubi yang telah dikutip tersebut diakui juga oleh Syekh Muhammad As-Syafaraini Al-Hambali dalam kitab Syarah Aqidah Ahlus Sunnah yang teks riwayatnya adalah sebagai berikut, Abu Abdullah Al-Qurthubi berkata, guru kami Ahmad bin Umar Al-Qurthubi penulis kitab Al Mufhim fi Syarhi Muslim berkata, " Sesuatu yang bisa menghilangkan kesulitan adalah kematian, dan kematian itu bukanlah ketiadaan an-sich, melainkan kematian itu merupakan perpindahan dari suatu kondisi (alam) ke kondisi (alam) yang lain. Buktinya para syuhada` setelah kematiannya, mereka masih hidup, berbahagia dan mendapatkan rezeki di sisi Tuhan mereka."

Inilah gambaran orang-orang yang hidup di dunia. Jika gambaran ini terjadi pada para syuhada, maka para nabi lebih berhak dan lebih utama memperoleh kehidupan itu. Al-Qurthubi menyebutkan bahwa tubuh-tubuh para nabi tidak binasa.

Diriwatkan secara shahih dari Jabir bahwa bapaknya dan Amr bin Al-Jamuh keduanya telah mati syahid dalam perang Uhud dan keduanya dimakamkan dalam satu liang lahat. Ketika musibah banjir menggerus makam tersebut, keduanya tidak tampak mengalami perubahan.

Salah satu di antara keduanya terluka, lalu tangannya diletakkan di atas luka tersebut kemudian dimakamkan dalam keadaan seperti itu. Kemudian tangannya dijauhkan dari lukanya, tiba-tiba tangan tersebut kembali sebagaimana semula. Padahal jarak antara banjir dengan perang Uhud adalah 46 tahun.

Tatkala Mu`awiyah membuat sumur di Madinah yang sumber airnya disedot -setelah 50 tahun dari perang Uhud- lalu para mayat dipindahkan, tiba-tiba alat ukurnya ( Meteran ) menyentuh kaki Hamzah r.a. sehingga mengalir darah di kakinya, sedangkan Abdullah bin Haram ditemukan seperti orang yang baru dimakamkan kemarin.

Seluruh penduduk Madinah meriwayatkan, bahwa dinding Nabi tatkala roboh pada masa Al Walid, kaki Umar bin Khaththab terlihat oleh mereka dan Umar pada waktu itu mati syahid. Ibnu taimiyah menyebutkan bahwa tatkala dinding tersebut roboh, kaki, betis dan lutut terlihat oleh mereka, sehingga Umar bin Abdul Aziz kaget atas kejadian tersebut lalu Urwah mendatanginya kemudian menjelaskan, "Ini betis dan lutut Umar, maka hilanglah kegelisahan Umar bin Abdul Aziz. (Iqtidha As-Shirath Al Mustaqim, hal : 365)

Dalam maslah ini Al Baihaqi telah menulis risala khusus yang menghimpun hadits-hadits yang menunjukkan, bahwa para nabi itu masih hidup dan tubuh mereka masih utuh. Demikian pula Al-Hafidz Jalaluddin As-Suyuthi menulis risalah yang sama.

(Dinulik dari buku Mafahim Yajibu An Tushahhah, karangan Guru Besar, Abuya Assayyid Muhammad bin Alwi Almaliki Alhasani). -

Kamis, 27 Februari 2014

Perumpamaan petunjuk dan ilmu pengetahuan

Kitab Riyadhus Shalihin : Hadits ke 1378

Penulis: Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin

مَثَلُ مَا بَعَثَنِي اللَّهُ بِهِ مِنَ الْهُدَى وَالْعِلْمِ كَمَثَلِ غَيْثٍ أَصَابَ أَرْضًا فَكَانَتْ مِنْهَا طَائِفَةٌ طَيِبَةٌ قَبِلَتِ الْمَاءَ، فَأَنْبَتَتِ الْكَلأَ وَالْعُشْبَ الْكَثِيْرَ، وَكَانَ مِنْهَا أَجَادِبُ أَمْسَكَتِ الْمَاءَ، فَنَفَعَ اللَّهُ بِهَا النَاسَ فَشَرِبُوْا مِنْهَا وَسَقُوْا وَزَرَعُوا، وَأَصَابَ طَائِفَةً مِنْهَا أُخْرَى إِنَمَا هِيَ قِيْعَانٌ لاَ تُمْسِكُ مَاءً وَلاَ تُنْبِتُ كَلأَ؛ فَذَلِكَ مَثَلُ مَنْ فَقُهَ فِي دِيْنِ اللَّهِ وَنَفَعَهُ مَا بَعَثَنِي اللَّهُ بِهِ فَعَلِمَ وَعَلّمَ، وَمَثَلُ مَنْ لَمْ يَرْفَعْ بِذَلِكَ رَأْسًا وَلَمْ يَقْبَلْ هُدَى اللَّهِ اَلذِي أُرْسِلْتُ بِهِ )) مُتَّفَقٌ عَلَيهِ.


Dari Abi Musa Radhiallahu Anhu, dia berkata Nabi Shalallahu Alaihi wa sallam bersabda, "Perumpamaan petunjuk dan ilmu pengetahuan, yang oleh karena itu Allah mengutus aku untuk menyampaikanya, seperti hujan lebat jatuh ke bumi; bumi itu ada yang subur, menyerap air, menumbuhkan tumbuh-tumbuhan dan rumput-rumput yang banyak. Ada pula yang keras tidak menyerap air sehingga tergenang, maka Allah memberi manfaat dengan hal itu kepada manusia. Mereka dapat minum dan memberi minum (binatang ternak dan sebagainya), dan untuk bercocok tanam. Ada pula hujan yang jatuh kebagian lain, yaitu di atas tanah yang tidak menggenangkan air dan tidak pula menumbuhkan rumput. Begitulah perumpamaan orang yang belajar agama, yang mau memanfaatkan sesuatu yang oleh karena itu Allah mengutus aku menyampaikannya, dipelajarinya dan diajarkannya. Begitu pula perumpamaan orang yang tidak mau memikirkan dan mengambil peduli dengan petunjuk Allah, yang aku diutus untuk menyampaikannya."Abu Abdillah berkata, bahwa Ishaq berkata," Dan ada diantara bagian bumi yang digenangi air, tapi tidak menyerap."

Kandungan Hadits
Tentang hadits diatas, setelah memaparkan keterangan yang menjelaskan hadits diatas dari segi bahasa (arab), Ibnu Hajar Al-Asqalani -penulis kitab fikih (klasik) Bulughul Maram- dalam kitabnya Fathul Bari, menjelaskan :

Al Qurtubi dan yang lainnya mengatakan bahwa Rasulullah ketika datang membawa ajaran agama, beliau mengumpamakannya dengan hujan yang datang kepada manusia dikala mereka membutuhkannya. Demikianlah kondisi manusia sebelum Rasulullah diutus. Seperti hujan menghidupkan tanah yang mati, demikian pula ilmu agama dapat menghidupkan hati yang mati.

Kemudian beliau mengumpamakan orang yang mendengarkan ilmu agama dengan berbagai macam tanah yang terkena air hujan, diantara mereka adalah orang alim yang mengamalkan ilmunya dan mengajar. Orang ini seperti jenis tanah yang subur yang menyerap air sehingga dapat memberi manfaat untuk dirinya, dan kemudian tumbuhlah tumbuh-tumbuhan padanya sehingga dapat memberi manfaat bagi yang lain.

Diantara mereka ada juga orang yang menghabiskan waktunya untuk menuntut ilmu namun dia tidak mengerjakan yang sunnah-sunnahnya dan tidak memahami secara mendalam ilmu yang ia kumpulkan, akan tetapi dia tunaikan (sampaikan.red) untuk orang lain, maka dia bagaikan tanah yang tergenangi air sehingga manusia dapat memanfaatkannya. Orang inilah yang diindikasikan dalam sabda beliau, "Allah memperindah wajah seseorang yang mendengar perkataan- perkataanku dan dia menghafalnya dan menyampaikanya seperti yang dia dengar. Betapa banyak orang yang menyampaikan fiqih kepada orang yang lebih mengerti darinya …. (Shahih HR. At Tirmidzi no. 2657, Ahmad 1/437. Ibnu Majah 232 dll.)

Diantara mereka juga ada yang mendengar ilmu namun tidak menghafal atau menjaganya serta tidak mengamalkannya dan tidak pula mengajarkannya kepada orang lain, maka dia seperti tanah yang kering dan tandus tidak dapat menyerap air sehingga merusak tanah yang ada di sekelilignya.

Dikumpulkannya perumpamaan bagian pertama dan kedua (bumi itu ada yang subur, menyerap air, menumbuhkan tumbuh-tumbuhan dan rumput-rumput yang banyak, dan ada pula yang keras tidak menyerap air sehingga tergenang, maka Allah memberi manfaat dengan hal itu kepada manusia. Mereka dapat minum dan memberi minum (binatang ternak dan sebagainya), dan untuk bercocok tanam adalah karena keduanya sama-sama bermanfaat. Sedangkan dipisahkannya bagian ketiga, karena tercela dan tidak bermanfaat. Wallaahu a’lam

Kemudian dalam setiap perumpamaan terdiri dari dua kelompok. Perumpamaan pertama telah kita jelaskan tadi, sedang perumpamaan kedua, bagian pertamanya adalah orang yang masuk agama (Islam) namun tidak mendengarkan ilmu atau mendengarkannya tapi tidak mengamalkan dan tidak mengajarkannya. Kelompok ini diumpamakan layaknya tanah tandus, yang diisyaratkan oleh Nabi Shallallahu Alaihi was Sallam dalam sabdanya, “Orang yang tidak mau peduli” yaitu berpaling dari ilmu sehingga dia tidak bisa mengambil manfaat untuk dirinya dan tidak pula dapat memberi manfaat kepada orang lain.

Adapun bagian kedua adalah orang yang tidak mau masuk ke dalam agama Islam sama sekali, bahkan telah disampaikan kepadanya pengetahuan tentang agama Islam, tapi dia mengingkari dan kufur kepadanya. Kelompok ini diumpamakan dengan tanah keras yang berbatu yang tidak ada tumbuhan sama sekali, dimana air mengalir diatasnya lewat begitu saja tanpa dapat memanfaatkannya. Hal ini diisyaratkan dengan perkataan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam, "Dan dia tidak menerima petunjuk Allah yang aku bawa".

Ath-Thibi mengatakan, "Manusia terbagi menjadi dua. Pertama, manusia yang memanfaatkan ilmu untuk dirinya namun tidak mengajarkannya kepada orang lain. Kedua, manusia yang tidak bisa mengambil manfaat untuk dirinya, tapi dia mengajarkan kepada orang lain. Menurut saya kategori pertama masuk dalam kelompok pertama, karena secara umum manfaatnya ada walaupun tingkatnya berbeda. Begitu pula dengan tanaman yang tumbuh, diantaranya ada yang subur dan memberi manfaat kepada manusia dan ada juga yang mengering. Adapun kategori kedua walaupun dia mengerjakan hal-hal yang wajib dan meninggalkan yang sunnah, sebenarnya dia termasuk dalam kelompok yang kedua seperti yang telah kita jelaskan; dan seandainya dia meninggalkan hal-hal yang wajib maka dia adalah orang yang fasik dan kita tidak boleh mengambil ilmu darinya. Orang semacam ini termasuk dalam, man lam yar fa' bi dzalika ro san. Wallahu a'lam".
Dinukil dari kitab Fathul Bari (penjelasan kitab Shahih Al Bukari) karya Al Hafidz Ibnu Hajar Al Asqalani. Jilid 1 Hal. 175 – 177. Cet. Darul Fikr.

Penutup. (red)
Dari uraian diatas, mari kita berkaca pada pribadi kita masing-masing. Termasuk dalam kelompok manakah kita ; kelompok tanah yang menyerap air sehingga dapat memberi manfaat bagi dirinya, kemudian tanah tersebut dapat menumbuhan tumbuh-tumbuhan sehingga dapat memberi manfaat pula bagi yang lain, atau kelompok kedua yakni kelompok tanah yang mampu menahan air walaupun tidak tumbuh tanaman padanya namun air yang ditampungnya bermanfaat bagi yang lain. Ataukah yang ketiga yaitu kelompok tanah yang yang tidak dapat menerima air sehingga merusak tanah yang ada di sekelilingnya? Demikianlah Wahai saudaraku, jadikan diri-diri kita sebagai ulul Albab orang yang cerdik cendikia.
Semoga Allah memudahkan kita semua untuk menuju dan meniti jalan kebaikan dengan senantiasa dibimbing ilmu yang bagaikan hujan yang menumbuhkan tanaman yang menghasilkan buah yang manis nan indah. Amin.

Diterjemahkan oleh Al Ustadz Muhammad Rifa'i dari kitab Syarah Riyadhus Shalihin Bagian Kitabul Ilmi karya Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin cetakan Darul Atsar (3/424-426).

Referensi: Buletin Da'wah Islam Riyadhus Shalihin Edisi 006/Jumadil Tsani/1427 H.

Rabu, 26 Februari 2014

Wanita Penghuni Neraka


Penulis : Muhammad Faizal Ibnu Jamil


Saudariku Muslimah … .

Suatu hal yang pasti bahwa surga dan neraka adalah dua makhluk yang Allah Subhanahu wa Ta’ala ciptakan. Surga diciptakan-Nya sebagai tempat tinggal yang abadi bagi kaum Mukminin dan neraka sebagai tempat tinggal bagi kaum musyrikin dan pelaku dosa yang Allah Subhanahu wa Ta’ala telah melarang darinya.

Setiap Muslimin yang mengerti keadaan Surga dan neraka tentunya sangat berharap untuk dapat menjadi penghuni Surga dan terhindar jauh dari neraka, inilah fitrah.

Pada Kajian kali ini, kami akan membahas tentang neraka dan penduduknya, yang mana mayoritas penduduknya adalah wanita dikarenakan sebab-sebab yang akan dibahas nanti.

Sebelum kita mengenal wanita-wanita penghuni neraka alangkah baiknya jika kita menoleh kepada peringatan-peringatan Allah Subhanahu wa Ta’ala di dalam Al Qur’an tentang neraka dan adzab yang tersedia di dalamnya dan perintah untuk menjaga diri daripadanya.


Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
“Hai orang-orang yang beriman peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu, penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (At Tahrim : 6)

Imam Ath Thabari rahimahullah menyatakan di dalam tafsirnya : “Ajarkanlah kepada keluargamu amalan ketaatan yang dapat menjaga diri mereka dari neraka.”

Ibnu Abbas radliyallahu 'anhu juga mengomentari ayat ini : “Beramallah kalian dengan ketaatan kepada Allah, takutlah kalian untuk bermaksiat kepada-Nya dan perintahkan keluarga kalian untuk berdzikir, niscaya Allah menyelamatkan kalian dari neraka.” Dan masih banyak tafsir para shahabat dan ulama lainnya yang menganjurkan kita untuk menjaga diri dan keluarga dari neraka dengan mengerjakan amalan shalih dan menjauhi maksiat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Di dalam surat lainnya Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :“Peliharalah dirimu dari neraka yang bahan bakarnya manusia dan batu yang disediakan bagi orang-orang kafir.” (Al Baqarah : 24)

Begitu pula dengan ayat-ayat lainnya yang juga menjelaskan keadaan neraka dan perintah untuk menjaga diri daripadanya.

Kedahsyatan dan kengerian neraka juga dinyatakan Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam di dalam hadits yang shahih dari Abu Hurairah radliyallahu 'anhu bahwasanya beliau bersabda : “Api kalian yang dinyalakan oleh anak cucu Adam ini hanyalah satu bagian dari 70 bagian neraka Jahanam.” (Shahihul Jami’ 6618)

Jikalau api dunia saja dapat menghanguskan tubuh kita, bagaimana dengan api neraka yang panasnya 69 kali lipat dibanding panas api dunia? Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala menyelamatkan kita dari neraka. Amin.

Wanita Penghuni Neraka

Tentang hal ini, Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda :“Aku melihat ke dalam Surga maka aku melihat kebanyakan penduduknya adalah fuqara (orang-orang fakir) dan aku melihat ke dalam neraka maka aku menyaksikan kebanyakan penduduknya adalah wanita.” (HR. Bukhari dan Muslim dari Ibnu Abbas dan Imran serta selain keduanya)

Hadits ini menjelaskan kepada kita apa yang disaksikan oleh Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam tentang penduduk Surga yang mayoritasnya adalah fuqara (para fakir miskin) dan neraka yang mayoritas penduduknya adalah wanita. Tetapi hadits ini tidak menjelaskan sebab-sebab yang mengantarkan mereka ke dalam neraka dan menjadi mayoritas penduduknya, namun disebutkan dalam hadits lainnya.

Di dalam kisah gerhana matahari yang Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam dan para shahabatnya melakukan shalat gerhana padanya dengan shalat yang panjang , beliau Shalallahu ‘alaihi wassalam melihat Surga dan neraka.
Ketika beliau melihat neraka beliau bersabda kepada para shahabatnya radliyallahu 'anhum : “ … dan aku melihat neraka maka tidak pernah aku melihat pemandangan seperti ini sama sekali, aku melihat kebanyakan penduduknya adalah kaum wanita. Shahabat pun bertanya : “Mengapa (demikian) wahai Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam?” Beliau Shalallahu ‘alaihi wassalam menjawab : “Karena kekufuran mereka.” Kemudian ditanya lagi : “Apakah mereka kufur kepada Allah?” Beliau menjawab : “Mereka kufur terhadap suami-suami mereka, kufur terhadap kebaikan-kebaikannya. Kalaulah engkau berbuat baik kepada salah seorang di antara mereka selama waktu yang panjang kemudian dia melihat sesuatu pada dirimu (yang tidak dia sukai) niscaya dia akan berkata : ‘Aku tidak pernah melihat sedikitpun kebaikan pada dirimu.’ ” (HR. Bukhari dari Ibnu Abbas radliyallahu 'anhuma)

Dalam hadits lainnya, Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam menjelaskan tentang wanita penduduk neraka, beliau bersabda :“ … dan wanita-wanita yang berpakaian tetapi hakikatnya mereka telanjang, melenggak-lenggokkan kepala mereka karena sombong dan berpaling dari ketaatan kepada Allah dan suaminya, kepala mereka seakan-akan seperti punuk onta. Mereka tidak masuk Surga dan tidak mendapatkan wanginya Surga padahal wanginya bisa didapati dari jarak perjalanan sekian dan sekian.” (HR. Muslim dan Ahmad dari Abu Hurairah radliyallahu 'anhu)

Dari Imran bin Husain dia berkata, Nabi Shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda : “Sesungguhnya penduduk surga yang paling sedikit adalah wanita.” (HR. Muslim dan Ahmad)

Imam Qurthubi rahimahullah mengomentari hadits di atas dengan pernyataannya : “Penyebab sedikitnya kaum wanita yang masuk Surga adalah hawa nafsu yang mendominasi pada diri mereka, kecondongan mereka kepada kesenangan-kesenangan dunia, dan berpaling dari akhirat karena kurangnya akal mereka dan mudahnya mereka untuk tertipu dengan kesenangan-kesenangan dunia yang menyebabkan mereka lemah untuk beramal.
Kemudian mereka juga sebab yang paling kuat untuk memalingkan kaum pria dari akhirat dikarenakan adanya hawa nafsu dalam diri mereka, kebanyakan dari mereka memalingkan diri-diri mereka dan selain mereka dari akhirat, cepat tertipu jika diajak kepada penyelewengan terhadap agama dan sulit menerima jika diajak kepada akhirat.” (Jahannam Ahwaluha wa Ahluha halaman 29-30 dan At Tadzkirah halaman 369)

Saudariku Muslimah … .

Jika kita melihat keterangan dan hadits di atas dengan seksama, niscaya kita akan dapati beberapa sebab yang menjerumuskan kaum wanita ke dalam neraka bahkan menjadi mayoritas penduduknya dan yang menyebabkan mereka menjadi golongan minoritas dari penghuni Surga.

Saudariku Muslimah … . Hindarilah sebab-sebab ini semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala menyelamatkan kita dari neraka. Amin.

1. Kufur Terhadap Suami dan Kebaikan-Kebaikannya
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam menjelaskan hal ini pada sabda beliau di atas tadi. Kekufuran model ini terlalu banyak kita dapati di tengah keluarga kaum Muslimin, yakni seorang istri yagn mengingkari kebaikan-kebaikan suaminya selama sekian waktu yang panjang hanya dengan sikap suami yang tidak cocok dengan kehendak sang istri sebagaimana kata pepatah, panas setahun dihapus oleh hujan sehari.
Padahal yang harus dilakukan oleh seorang istri ialah bersyukur terhadap apa yang diberikan suaminya, janganlah ia mengkufuri kebaikan-kebaikan sang suami karena Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak akan melihat istri model begini sebagaimana dijelaskan Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam : “Allah tidak akan melihat kepada wanita yang tidak mensyukuri apa yang ada pada suaminya dan tidak merasa cukup dengannya.” (HR. Nasa’i di dalam Al Kubra dari Abdullah bin ‘Amr. Lihat Al Insyirah fi Adabin Nikah halaman 76)

Hadits di atas adalah peringatan keras bagi para wanita Mukminah yang menginginkan ridha Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Surga-Nya. Maka tidak sepantasnya bagi wanita yang mengharapkan akhirat untuk mengkufuri kebaikan-kebaikan suaminya dan nikmat-nikmat yang diberikannya atau meminta dan banyak mengadukan hal-hal sepele yang tidak pantas untuk dibesar-besarkan.


Jika demikian keadaannya maka sungguh sangat cocok sekali jika wanita yang kufur terhadap suaminya serta kebaikan-kebaikannya dikatakan Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam sebagai mayoritas kaum yang masuk ke dalam neraka walaupun mereka tidak kekal di dalamnya.


Cukup kiranya istri-istri Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam dan para shahabiyah sebagai suri tauladan bagi istri-istri kaum Mukminin dalam mensyukuri kebaikan-kebaikan yang diberikan suaminya kepadanya.

2. Durhaka Terhadap Suami
Kedurhakaan yang dilakukan seorang istri terhadap suaminya pada umumnya berupa tiga bentuk kedurhakaan yang sering kita jumpai pada kehidupan masyarakat kaum Muslimin. Tiga bentuk kedurhakaan itu adalah :
1. Durhaka dengan ucapan.
2. Durhaka dengan perbuatan.
3. Durhaka dengan ucapan dan perbuatan.

Bentuk pertama ialah seorang istri yang biasanya berucap dan bersikap baik kepada suaminya serta segera memenuhi panggilannya, tiba-tiba berubah sikap dengan berbicara kasar dan tidak segera memenuhi panggilan suaminya. Atau ia memenuhinya tetapi dengan wajah yang menunjukkan rasa tidak senang atau lambat mendatangi suaminya. Kedurhakaan seperti ini sering dilakukan seorang istri ketika ia lupa atau memang sengaja melupakan ancaman-ancaman Allah terhadap sikap ini.

Termasuk bentuk kedurhakaan ini ialah apabila seorang istri membicarakan perbuatan suami yang tidak ia sukai kepada teman-teman atau keluarganya tanpa sebab yang diperbolehkan syar’i. Atau ia menuduh suaminya dengan tuduhan-tuduhan dengan maksud untuk menjelekkannya dan merusak kehormatannya sehingga nama suaminya jelek di mata orang lain. Bentuk serupa adalah apabila seorang istri meminta di thalaq atau di khulu’ (dicerai) tanpa sebab syar’i. Atau ia mengaku-aku telah dianiaya atau didhalimi suaminya atau yang semisal dengan itu.

Permintaan cerai biasanya diawali dengan pertengkaran antara suami dan istri karena ketidakpuasan sang istri terhadap kebaikan dan usaha sang suami. Atau yang lebih menyedihkan lagi bila hal itu dilakukannya karena suaminya berusaha mengamalkan syari’at-syari’at Allah Subhanahu wa Ta’ala dan sunnah-sunnah Rasul-Nya Shalallahu ‘alaihi wassalam. Sungguh jelek apa yang dilakukan istri seperti ini terhadap suaminya. Ingatlah sabda Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam :“Wanita mana saja yang meminta cerai pada suaminya tanpa sebab (yang syar’i, pent.) maka haram baginya wangi Surga.” (HR. Abu Daud dan At Tirmidzi serta selain keduanya. Lihat Al Insyirah fi Adabin Nikah halaman 85)

Bentuk kedurhakaan kedua yang dilakukan para istri terjadi dalam hal perbuatan yaitu ketika seorang istri tidak mau melayani kebutuhan seksual suaminya atau bermuka masam ketika melayaninya atau menghindari suami ketika hendak disentuh dan dicium atau menutup pintu ketika suami hendak mendatanginya dan yang semisal dengan itu.

Termasuk dari bentuk ini ialah apabila seorang istri keluar rumah tanpa izin suaminya walaupun hanya untuk mengunjungi kedua orang tuanya. Yang demikian seakan-akan seorang istri lari dari rumah suaminya tanpa sebab syar’i. Demikian pula jika sang istri enggan untuk bersafar (melakukan perjalanan) bersama suaminya, mengkhianati suami dan hartanya, membuka dan menampakkan apa yang seharusnya ditutupi dari anggota tubuhnya, berjalan di tempat umum dan pasar-pasar tanpa mahram, bersenda gurau atau berbicara lemah-lembut penuh mesra kepada lelaki yang bukan mahramnya dan yang semisal dengan itu.

Bentuk lain adalah apabila seorang istri tidak mau berdandan atau mempercantik diri untuk suaminya padahal suaminya menginginkan hal itu, melakukan puasa sunnah tanpa izin suaminya, meninggalkan hak-hak Allah seperti shalat, mandi janabat, atau puasa Ramadlan.

Maka setiap istri yang melakukan perbuatan-perbuatan seperti tersebut adalah istri yang durhaka terhadap suami dan bermaksiat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Jika kedua bentuk kedurhakaan ini dilakukan sekaligus oleh seorang istri maka ia dikatakan sebagai istri yang durhaka dengan ucapan dan perbuatannya. (Dinukil dari kitab An Nusyuz karya Dr. Shaleh bin Ghanim As Sadlan halaman 23-25 dengan beberapa tambahan)

Sungguh merugi wanita yang melakukan kedurhakaan ini. Mereka lebih memilih jalan ke neraka daripada jalan ke Surga karena memang biasanya wanita yang melakukan kedurhakaan-kedurhakaan ini tergoda oleh angan-angan dan kesenangan dunia yang menipu.

Ketahuilah wahai saudariku Muslimah, jalan menuju Surga tidaklah dihiasi dengan bunga-bunga nan indah, melainkan dipenuhi dengan rintangan-rintangan yang berat untuk dilalui oleh manusia kecuali orang-orang yang diberi ketegaran iman oleh Allah. Tetapi ingatlah di ujung jalan ini ada Surga yang Allah sediakan untuk hamba-hamba-Nya yang sabar menempuhnya.

Ketahuilah pula bahwa jalan menuju neraka memang indah, penuh dengan syahwat dan kesenangan dunia yang setiap manusia tertarik untuk menjalaninya. Tetapi ingat dan sadarlah bahwa neraka menanti orang-orang yang menjalani jalan ini dan tidak mau berpaling darinya semasa ia hidup di dunia.

Hanya wanita yang bijaksanalah yang mau bertaubat kepada Allah dan meminta maaf kepada suaminya dari kedurhakaan-kedurhakaan yang pernah ia lakukan. Ia akan kembali berusaha mencintai suaminya dan sabar dalam mentaati perintahnya. Ia mengerti nasib di akhirat dan bukan kesengsaraan di dunia yang ia takuti dan tangisi.

3. Tabarruj
Yang dimaksud dengan tabarruj ialah seorang wanita yang menampakkan perhiasannya dan keindahan tubuhnya serta apa-apa yang seharusnya wajib untuk ditutupi dari hal-hal yang dapat menarik syahwat lelaki. (Jilbab Al Mar’atil Muslimah halaman 120)

Hal ini kita dapati pada sabda Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam tentang wanita-wanita yang berpakaian tapi hakikatnya telanjang dikarenakan minimnya pakaian mereka dan tipisnya bahan kain yang dipakainya. Yang demikian ini sesuai dengan komentar Ibnul ‘Abdil Barr rahimahullah ketika menjelaskan sabda Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam tersebut.
Ibnul ‘Abdil Barr menyatakan : “Wanita-wanita yang dimaksudkan Nabi Shalallahu ‘alaihi wassalam adalah yang memakai pakaian yang tipis yang membentuk tubuhnya dan tidak menutupinya, maka mereka adalah wanita-wanita yang berpakaian pada dhahirnya dan telanjang pada hakikatnya … .” (Dinukil oleh Suyuthi di dalam Tanwirul Hawalik 3/103 )

Mereka adalah wanita-wanita yang hobi menampakkan perhiasan mereka, padahal Allah Subhanahu wa Ta’ala telah melarang hal ini dalam firman-Nya : “Dan janganlah mereka menampakkan perhiasan-perhiasan mereka.” (An Nur : 31)

Imam Adz Dzahabi rahimahullah menyatakan di dalam kitab Al Kabair halaman 131 : “Termasuk dari perbuatan-perbuatan yang menyebabkan mereka dilaknat ialah menampakkan hiasan emas dan permata yang ada di dalam niqab (tutup muka/kerudung) mereka, memakai minyak wangi dengan misik dan yang semisalnya jika mereka keluar rumah … .”

Dengan perbuatan seperti ini berarti mereka secara tidak langsung menyeret kaum pria ke dalam neraka, karena pada diri kaum wanita terdapat daya tarik syahwat yang sangat kuat yang dapat menggoyahkan keimanan yang kokoh sekalipun. Terlebih bagi iman yang lemah yang tidak dibentengi dengan ilmu Al Qur’an dan As Sunnah. Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam sendiri menyatakan di dalam hadits yang shahih bahwa fitnah yang paling besar yang paling ditakutkan atas kaum pria adalah fitnahnya wanita.

Sejarah sudah berbicara bahwa betapa banyak tokoh-tokoh legendaris dunia yang tidak beriman kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala hancur karirnya hanya disebabkan bujuk rayu wanita.
Dan berapa banyak persaudaraan di antara kaum Mukminin terputus hanya dikarenakan wanita. Berapa banyak seorang anak tega dan menelantarkan ibunya demi mencari cinta seorang wanita, dan masih banyak lagi kasus lainnya yang dapat membuktikan bahwa wanita model mereka ini memang pantas untuk tidak mendapatkan wanginya Surga.

Hanya dengan ucapan dan rayuan seorang wanita mampu menjerumuskan kaum pria ke dalam lembah dosa dan hina terlebih lagi jika mereka bersolek dan menampakkan di hadapan kaum pria. Tidak mengherankan lagi jika di sana-sini terjadi pelecehan terhadap kaum wanita, karena yang demikian adalah hasil perbuatan mereka sendiri.

Wahai saudariku Muslimah … . Hindarilah tabarruj dan berhiaslah dengan pakaian yang Islamy yang menyelamatkan kalian dari dosa di dunia ini dan adzab di akhirat kelak.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :“Dan tinggallah kalian di rumah-rumah kalian dan janganlah kalian bertabarruj dengan tabarrujnya orang-orang jahiliyyah pertama dahulu.” (Al Ahzab : 33)
Masih banyak sebab-sebab lainnya yang mengantarkan wanita menjadi mayoritas penduduk neraka. Tetapi kami hanya mencukupkan tiga sebab ini saja karena memang tiga model inilah yang sering kita dapati di dalam kehidupan masyarakat negeri kita ini.

Saudariku Muslimah … .

Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam pernah menuntunkan satu amalan yang dapat menyelamatkan kaum wanita dari adzab neraka. Ketika beliau selesai khutbah hari raya yang berisikan perintah untuk bertakwa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan anjuran untuk mentaati-Nya. Beliau pun bangkit mendatangi kaum wanita, beliau menasehati mereka dan mengingatkan mereka tentang akhirat kemudian beliau bersabda : “Bershadaqahlah kalian! Karena kebanyakan kalian adalah kayu bakarnya Jahanam!” Maka berdirilah seorang wanita yang duduk di antara wanita-wanita lainnya yang berubah kehitaman kedua pipinya, iapun bertanya : “Mengapa demikian, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab : “Karena kalian banyak mengeluh dan kalian kufur terhadap suami!” (HR. Bukhari)

Bershadaqahlah! Karena shadaqah adalah satu jalan untuk menyelamatkan kalian dari adzab neraka. Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala menyelamatkan kita dari adzabnya. Amin.

Wallahu A’lam bish Shawwab. (Dikutip dari tulisan Muhammad Faizal Ibnu Jamil, Judul asli Wanita Penghuni Neraka, MUSLIMAH/Edisi XXII/1418/1997/Kajian Kali Ini. Url sumber http://www.geocities.com/dmgto/muslimah201/nar.htm)

Membawa Mushaf Tertutup ke Dalam WC



 Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh

Ana pernah baca di suatu buku terjemahan ( bukan terjemahan penerbit salafy) fatwa-fatwa Syeikh Al Albani. Di sana dituliskan tentang membawa mushaf Al Quran ke dalam WC, dengan keadaan tertutup di dalam saku, di mana beliau membolehkannya apabila terjaga dalam keadaan tertutup. Bagaimana sebenarnya hukum dalam permasalahan ini? (ana sebelumnya beranggapan tidak boleh membawa ayat Al Quran dalam keadaan bagaimana pun)

Waalaikumus salaam warohmatullahi wabarokatuh
apa yang antum nukilkan dari Syekh Al-Albani rahimahullah Ta’ala yang menyebutkan bahwa beliau membolehkan membawa mushaf kedalam WC bila dalam keadaan tertutup dan terjaga adalah penukilan yang benar dari Beliau rahimahullah Ta’ala.
Dan memang terjadi perselisihan dikalangan para ulama tentang hukum membawa mushaf kedalam WC :
1) Pendapat yang tidak membolehkan terkecuali dalam keadaan terpaksa, seperti bila dikhawatirkan dicuri dan yang semisalnya.
Dan pendapat ini yang dikuatkan oleh Syelh Bin Baaz rahimahullah dalam fatwanya dan Syekh Muhammad bin Sholeh Al-Utsaimin rahimahullah dalam dalam kumpulan fatwanya dan juga dalam As-syarhul mumti’, jil:1 ,ketika membahas tentang adab istinja, demikian pula Syekh Al- Fauzan rahimahullah dalam kumpulan fatwa beliau.Mereka beralasan karena mushaf adalah syi’ar agama ini ,dan Allah berfirman:
“Demikianlah (perintah Allah). dan barangsiapa mengagungkan syi'ar-syi'ar Allah, Maka Sesungguhnya itu timbul dari ketakwaan hati.” (QS.Al-Hajj:32)

2) Pendapat yang membolehkan, apabila mushaf tersebut terjaga dan tersimpan dengan baik dalam sakunya, tidak ditampakkan.
Dan pendapat inilah yang dikuatkan oleh Syekh Al-Albani rahimahullah Ta’ala, sebagaimana yang beliau fatwakan dalam salah satu kaset yang terkumpul dalam silsilah al-huda wan-nuur.
Dan beliau memiliki dua alasan:
Pertama:
asal hukumnya adalah boleh,dan tidak ada dalil yang melarangnya.
Kedua:
mengqiyaskan membawa mushaf tersebut dengan apa yang dihafal oleh seorang muslim berupa ayat-ayat al-qur’an, yang tentunya tersimpan dalam hatinya. Maka tidak ada perbedaan diantara keduanya,selama mushaf tersebut terjaga dan tersimpan dengan baik dan tidak dibuka.
Adapun ayat tersebut dapat dijadikan sebagai dalil apabila mushaf tersebut dibuka didalam WC.
Dan pendapat terakhir inilah yang ana pilih,wallahu A’lam.
Namun apabila memungkinkan bagi seseorang untuk tidak membawa mushafnya ke dalam WC, tanpa ada kesulitan baginya,maka tentunya yang demikian lebih afdhal,sebagai bentuk khuruj (keluar) dari perselisihan dikalangan para Ulama.
Faedah:
Syekh Ibnu Utsaimin rahimahullah Ta’ala membedakan antara mushaf dengan sesuatu yang didalamnya terdapat nama Allah,dan semisalnya.
Dimana beliau memakruhkan membawa mushaf,dan tidak memakruhkan selainnya,dengan syarat tersimpan dan tidak dinampakkan.
Faedah kedua:
Termasuk pula dalam hal ini, diperbolehkannya memasukkan sesuatu yang didalamnya terdapat ayat-ayat alqur’an ataukah mushaf,seperti bila terdapat dalam HP, atau mushaf digital, dan semisalnya.Dengan syarat tidak dinampakkan.
Wallahu A’lam bis-showab.

-- Al Ustadz Abu Karimah Askary --


TAWASSUL YANG DISYARI'ATKAN

Allah berfirman,
 "Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah jalan yang mendekatkan diri KepadaNya." (Al-Maa'idah: 35)
Qatadah berkata, "Dekatkanlah dirimu kepadaNya, dengan keta'atan dan amal yang membuatNya ridha."
Tawassul yang disyari'atkan adalah tawassul sebagaimana yang diperintahkan oleh Al-Qur'an, diteladankan oleh Rasulullah Shallallahu'alaihi wasallam dan dipraktekkan oleh para sahabat.
Di antara tawassul yang disyari'atkan yaitu:
1.    Tawassul dengan iman:

Seperti yang dikisahkan Allah dalam Al-Qur'an tentang hamba-Nya yang bertawassul dengan iman mereka. Allah berfirman,

"Ya Tuhan kami, sesungguhnya kami mendengar (seruan) yang menyeru kepada iman (yaitu), 'Berimanlah kamu kepada Tuhanmu', maka kami pun beriman. Ya Tuhan kami, ampunilah bagi kami dosa-dosa kami dan hapuskanlah dari kami kesalahan-kesalahan kami, dan wafatkanlah kami beserta orang-orang yang berbakti." (Ali Imran: 193)
 
2.    Tawassul  dengan mengesakan Allah:

Seperti do'a Nabi Yunus Alaihis Salam, ketika ditelan oleh ikan Nun. Allah  mengisahkan dalam firmanNya:

"Maka ia menyeru dalam keadaan yang sangat gelap, 'Bahwa tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Engkau. Maha Suci Engkau, sesungguhnya aku adalah termasuk orang-orang yang zhalim. Maka Kami telah memperkenankan do'anya, dan menyelamatkannya dari kedukaan. Dan demikianlah Kami selamatkan orang-orang yang beriman." (Al-Anbiyaa': 87-88)
 
3.    Tawassul dengan Nama-nama Allah:

Sebagaimana tersebut dalam firmanNya,
"Hanya milik Allah Asma'ul Husna, maka mohonlah kepada-Nya dengan menyebut Asma'ul Husna itu." (Al-A'raaf: 180)
Di antara do'a Rasulullah Shallallahu'alaihi wasallam dengan Nama-namaNya yaitu:

"Aku memohon KepadaMu dengan segala nama yang Engkau miliki." (HR. At-Tirmidzi, hadits hasan shahih)
 
4.    Tawassul dengan Sifat-sifat Allah:

Sebagaimana do'a Rasulullah Shallallahu'alaihi wasallam,

"Wahai Dzat Yang Hidup kekal lagi terus menerus mengurus (makhlukNya), dengan rahmatMu aku mohon pertolongan." (HR. At-Tirmidzi, hadits hasan)
 
5.    Tawassul dengan amal shalih:

Seperti shalat, berbakti kepada kedua orang tua, menjaga hak dan amanah, bersedekah, dzikir, membaca Al-Qur'an, shalawat atas Nabi Shallallahu'alaihi wasallam, kecintaan kita kepada beliau dan kepada para sahabatnya, serta amal shalih lainnya.

Dalam kitab Shahih Muslim terdapat riwayat yang mengisahkan tiga orang yang terperangkap di dalam gua. Lalu masing-masing ber-tawassul dengan amal shalihnya. Orang pertama bertawassul dengan amal shalihnya, berupa memelihara hak buruh. Orang kedua dengan baktinya kepada kedua orang tua. Orang yang ketiga bertawassul dengan takutnya kepada Allah, sehingga menggagalkan perbuatan keji yang hendak ia lakukan. Akhirnya Allah membukakan pintu gua itu dari batu besar yang menghalanginya, sampai mereka semua selamat.
 
6.    Tawassul dengan meninggalkan maksiat:

Misalnya dengan meninggalkan minum khamr (minum-minuman keras), berzina dan sebagainya dari berbagai hal yang diharamkan. Salah seorang dari mereka yang terperangkap dalam gua, juga ber-tawassul dengan meninggalkan zina, sehingga Allah menghilangkan kesulitan yang dihadapinya.

Adapun umat Islam sekarang, mereka meninggalkan amal shalih dan bertawassul dengannya, lalu menyandarkan diri ber-tawassul dengan amal shalih orang lain yang telah mati. Mereka melanggar petunjuk Rasulullah Shallallahu'alaihi wasallam dan para sahabatnya.
 
7.     Tawassul dengan memohon do'a kepada para nabi dan orang-orang shalih yang masih hidup.

Tersebutlah dalam riwayat, bahwa seorang buta datang kepada Nabi Shallallahu'alaihi wasallam. Orang itu berkata, "Ya Rasulullah, berdo'alah kepada Allah, agar Dia menyembuhkanku (sehingga bisa melihat kembali)." Rasulullah Shallallahu'alaihi wasallam menjawab, "Jika engkau menghendaki, aku akan berdo'a untukmu, dan jika engkau menghendaki, bersabar adalah lebih baik bagimu." Ia (tetap) berkata, "Do'akanlah." Lalu Rasulullah Shallallahu'alaihi wasallam menyuruhnya berwudhu secara sempurna, lalu shalat dua rakaat, selanjutnya beliau menyuruhnya berdo'a dengan mengatakan,

"Ya Allah sesungguhnya aku memohon kepadaMu, dan aku menghadap kepadaMu dengan (perantara) NabiMu, seorang Nabi yang membawa rahmat. Wahai Muhammad, sesungguhnya aku menghadap dengan (perantara)mu kepada Tuhanku dalam hajatku ini, agar dipenuhiNya untukku. Ya Allah jadikanlah ia pemberi syafa'at kepadaku, dan berilah aku syafa'at (pertolongan) di dalamnya." la berkata, "Laki-laki itu kemudian mela-kukannya, sehingga ia sembuh." (HR. Ahmad, hadits shahih)
Hadits di atas mengandung pengertian bahwa Rasulullah Shallallahu'alaihi wasallam berdo'a untuk laki-laki buta tersebut dalam keadaan beliau masih hidup. Maka Allah mengabulkan do'anya.
Rasulullah Shallallahu'alaihi wasallam memerintahkan orang tersebut agar berdo'a untuk dirinya. Menghadap kepada Allah untuk meminta kepadaNya agar Dia menerima syafa'at NabiNya Shallallahu'alaihi wasallam. Maka Allah pun menerima do'anya.
Do'a ini khusus ketika Nabi Shallallahu'alaihi wasallam masih hidup. Dan tidak mungkin berdo'a dengannya setelah beliau wafat. Sebab para sahabat tidak melakukan hal itu. Juga, orang-orang buta lainnya tidak ada yang mendapatkan manfa'at dengan do'a itu, setelah terjadinya peristiwa tersebut.